Jumat, 09 Desember 2011

royal wedding keraton yogyakarta


Berbicara tentang Yogyakarta tak lepas dari keindahan budaya jawa yang kental dan bersahabat, walaupun baru sekali menginjakkan kaki di bumi keraton tersebut, namun kesan positif akan budaya yang damai sangat jelas, bisa dirasakan dari aktifitas yang menyenangkan dengan menjelajahi kota ini, mulai dari menikmati indahnya malam di malioboro, makan angkringan sambil mendengar musisi jalanan, dan masih banyak lagi keindahan dan keunikan kota ini, sungguh pengalaman menyenangkan yang tak terlupakan.

Adalah Royal Wedding Yogya dimana Sri Sultan Hamengku Buwono X akan menikahkan putri bungsu Sultan Hamengkubowono (HB) X, Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni atau akrab disapa Reni dengan Achmad Ubaidillah (Ubai), Pesta pernikahan akan berlangsung selama empat hari berturut-turut pada 16-19 Oktober 2011, di mana 4.000 undangan bakal menghadiri helatan besar tersebut. Sesuai tradisi menjelang pernikahan, Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni mendapatkan nama baru yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, sedangkan  Achmad Ubaidillah (Ubai) mendapatkan nama Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Yudanegara.

Menanggapi berita diatas, terlintas dipikiran saya pastilah perhelatan besar-besara yang dilansungkan akan mempunyai keunikan tersendiri, karena tentu akan menghadirkan kesenian budaya jawa yang kental dan unik. Apalagi terdengar kabar bahwa untuk menyambut acara tersebut, Sekitar 200 angkringan gratis akan disajikan di sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta pada 18 Oktober mendatang. Angkringan tersebut disediakan oleh warga Yogyakarta sebagai wujud rasa bahagia dari rakyat untuk keraton yang sedang menggelar pesta pernikahan.

Disinilah letak keindahannya, jika ada pertanyaan mengapa Sultan menggelar pernikahan besar-besaran untuk putrinya? Hal tersebut tidak lepas dari peristiwa budaya, bagaimana Keraton menjaga pakem upacara pernikahan dan SBY pun tidak ragu memakai pakem Yogyakarta untuk pernikahan Ibas dan Alya.

Siapa bilang rakyat tidak senang? pedagang pasar beringharjo tutup sukarela demi menyaksikan pernikahan tersebut. Coba lebih melihat dari perspektif budaya dan kecintaan orang Jogja terhadap Kraton. Sultan juga tidak selalu menunjukkan kebesarannya sebagai seorang raja, hanya karena peristiwa budaya beliau menunjukkan tanda-tanda kebesaran. Pimpinan gerakan keistimewaan pun menjamin SBY tetap tenang menjadi tamu pernikahan tanpa disambut demonstrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar